Trotoar Bukan Jalur Motor: Mengapa Kita Butuh Etika Berkendara, Bukan Sekadar Tilang

Trotoar Bukan Jalur Motor: Mengapa Kita Butuh Etika Berkendara, Bukan Sekadar Tilang

Ketika berbicara soal ketertiban lalu lintas, banyak orang langsung membayangkan tilang, razia polisi, atau lampu merah. Tapi sayangnya, yang sering terlupakan adalah elemen paling mendasar dalam berkendara: etika. Salah satu contoh paling nyata dari kurangnya etika ini adalah kebiasaan pengendara motor yang naik ke trotoar demi menghindari kemacetan. Hal ini seolah jadi “hal biasa”, padahal dampaknya sangat besar dan mencerminkan rusaknya budaya berkendara kita.

Trotoar: Bukan Hak Motor

Sesuai dengan namanya, trotoar adalah jalur khusus untuk pejalan kaki. Fungsinya adalah memberikan ruang aman bagi warga yang berjalan kaki, termasuk anak-anak, lansia, hingga penyandang disabilitas. Namun, tidak sedikit pengendara yang dengan cueknya melajukan motornya di atas trotoar, tanpa merasa bersalah.

Fenomena ini sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hingga Medan. Biasanya terjadi saat jam sibuk, ketika kemacetan mulai bikin frustrasi. Tapi apakah kemacetan bisa jadi alasan untuk mengorbankan keselamatan pejalan kaki? Jelas tidak.

Bukan Sekadar Melanggar, Tapi Merugikan Banyak Orang

Saat motor cmd368 naik ke trotoar, bukan hanya sekadar melanggar hukum, tapi juga mengancam keselamatan orang lain. Bayangkan jika seorang ibu berjalan sambil menggandeng anak kecil, lalu tiba-tiba dari belakang ada motor yang melaju di trotoar. Risiko kecelakaan sangat tinggi. Belum lagi buat penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda atau tongkat, hal ini bisa sangat berbahaya.

Di samping itu, perilaku seperti ini menunjukkan rendahnya rasa hormat terhadap sesama pengguna jalan. Jalan bukan hanya untuk kendaraan, tapi untuk semua orang. Ketika satu pihak merasa lebih berhak dari yang lain, maka kekacauan akan terus terjadi.

Tilang Tak Selalu Efektif

Tilang memang penting. Tapi, penindakan tanpa pendidikan tidak akan menghasilkan perubahan jangka panjang. Banyak pengendara yang kena tilang hari ini, tapi besoknya mengulangi kesalahan yang sama. Kenapa? Karena mereka tidak benar-benar paham atau peduli kenapa aturan itu dibuat.

Apa gunanya sanksi, jika tidak diiringi dengan perubahan mindset? Di sinilah pentingnya edukasi etika berlalu lintas. Seharusnya, pembelajaran tentang tata tertib dan etika berkendara sudah dimulai sejak sekolah dasar. Anak-anak perlu diajari bahwa jalan raya adalah ruang bersama yang harus dihargai.

Belajar dari Negara Lain

Jika kita tengok Jepang atau Singapura, ketertiban berlalu lintas mereka bukan cuma soal hukum yang tegas, tapi karena warganya memiliki kesadaran kolektif. Mereka paham bahwa tertib berlalu lintas adalah bentuk saling menghargai. Di sana, sangat jarang kita lihat motor naik trotoar. Bukan karena takut ditilang, tapi karena tahu itu salah.

Negara-negara ini juga menanamkan budaya antre, memberi jalan, dan mendahulukan pejalan kaki sebagai bentuk peradaban. Sesuatu yang bisa kita tiru, bukan hanya dari segi aturan, tapi dari nilai yang mereka bangun sejak dini.

Kampanye dan Aksi Nyata

Banyak komunitas dan relawan yang mulai menyuarakan pentingnya etika berkendara. Mulai dari kampanye sosial media, mural edukatif di jalanan, hingga aksi turun ke jalan membagikan flyer. Ini langkah kecil, tapi sangat berarti. Pemerintah daerah juga bisa ikut andil dengan menghadirkan lebih banyak edukasi publik lewat sekolah, tempat ibadah, dan media lokal.

Selain itu, penting untuk menciptakan fasilitas publik yang ramah pejalan kaki, seperti trotoar lebar, zebra cross yang dijaga, dan pembatas jalan yang jelas. Karena ketika infrastrukturnya mendukung, masyarakat juga akan lebih mudah untuk tertib.

Mulai dari Diri Sendiri

Perubahan besar selalu dimulai dari diri sendiri. Sebelum kita menyalahkan pemerintah atau pengendara lain, tanyakan dulu: Apakah saya sudah tertib di jalan? Apakah saya masih suka naik motor di trotoar kalau jalan macet? Kalau jawabannya iya, mungkin sudah saatnya berubah.

Ketertiban bukan cuma soal takut ditilang, tapi soal menghargai hak orang lain. Ketika kita mulai tertib, kita memberi contoh. Dan dari contoh-contoh kecil itu, budaya berkendara yang lebih baik akan terbentuk.

Kesimpulan

Trotoar bukan tempat motor. Titik. Ketika pengendara sadar akan hal ini, dan menghormati hak pengguna jalan lain, maka ketertiban lalu lintas bukan lagi mimpi. Tapi untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar tilang. Kita butuh budaya baru yang dibangun dari kesadaran dan rasa hormat, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.