Sopir Ambulans Takut Tilang ETLE Polisi Beri Penjelasan
Belakangan ini, beredar video di media sosial yang menampilkan seorang sopir ambulans enggan menerobos lampu merah meskipun sedang membawa pasien dalam kondisi gawat darurat. Kejadian tersebut memicu perdebatan publik karena diduga adanya ketakutan pengemudi ambulans terhadap tilang ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement).
Sopir Ambulans Takut Tilang ETLE Polisi Beri Penjelasan
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran soal bagaimana sistem penegakan hukum berbasis elektronik diterapkan kepada kendaraan prioritas, seperti ambulans, yang memiliki hak khusus dalam keadaan darurat.
Ketakutan Sopir Ambulans: Antara Tugas dan Tilang
Dalam video yang beredar luas, terlihat sebuah ambulans yang tetap berhenti di persimpangan lampu merah, meski lampu darurat (rotator) telah dinyalakan dan sirine berbunyi. Padahal, di dalam ambulans terdapat pasien yang membutuhkan penanganan segera di rumah sakit.
Diketahui, alasan utama pengemudi ambulans memilih berhenti adalah kekhawatiran terkena sanksi dari sistem tilang ETLE yang secara otomatis mendeteksi pelanggaran lalu lintas, termasuk menerobos lampu merah.
Sebagian besar sopir ambulans mengaku pernah mengalami kejadian serupa. Mereka mendapatkan surat tilang meski saat itu sedang menjalankan tugas dalam kondisi darurat. Hal ini menimbulkan kebingungan dan rasa cemas, terutama jika tidak ada pendamping dari pihak rumah sakit atau bukti kuat saat kejadian berlangsung.
Penjelasan dari Kepolisian
Menanggapi kekhawatiran tersebut, pihak kepolisian memberikan klarifikasi. Dalam keterangan resminya, perwakilan dari Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menegaskan bahwa kendaraan ambulans yang sedang membawa pasien dalam kondisi darurat diperbolehkan melanggar lampu lalu lintas, asalkan dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
“Kami memahami situasi darurat. Jika memang ambulans sedang membawa pasien yang membutuhkan penanganan cepat, maka tidak akan dikenai sanksi ETLE selama bisa dibuktikan,” jelas pihak kepolisian.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan prioritas seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan mobil jenazah memiliki hak utama di jalan, termasuk ketika harus melanggar rambu lalu lintas dalam kondisi tertentu.
Namun demikian, penggunaan hak ini harus disertai dengan tanda-tanda yang sesuai seperti lampu rotator dan sirine. Jika kendaraan tidak menunjukkan tanda darurat, maka pelanggaran yang terekam ETLE tetap akan dianggap sebagai pelanggaran biasa.
Prosedur Penghapusan Tilang ETLE bagi Ambulans
Polisi juga menyampaikan bahwa jika seorang sopir ambulans menerima surat tilang dari sistem ETLE, ia bisa mengajukan klarifikasi. Caranya adalah dengan menghubungi call center ETLE atau datang langsung ke kantor Sub Direktorat Penegakan Hukum (Subdit Gakkum) Polda setempat sambil membawa bukti pendukung, seperti surat tugas, rekam medis pasien, dan keterangan dari rumah sakit.
“Petugas akan memverifikasi apakah pelanggaran itu dilakukan dalam rangka tugas menyelamatkan nyawa pasien atau tidak. Jika terbukti, maka denda atau sanksi akan dibatalkan,” tambah pihak kepolisian.
Solusi dan Saran untuk Ke Depannya
Untuk mencegah kekeliruan di masa depan, para sopir ambulans diimbau untuk:
Selalu menyalakan sirine dan rotator saat bertugas dalam kondisi darurat.
Mencatat waktu dan rute perjalanan untuk dokumentasi.
Melengkapi dokumen kendaraan dengan surat tugas dari rumah sakit.
Menggunakan dashcam untuk merekam perjalanan sebagai bukti tambahan.
Sementara itu, pemerintah dan kepolisian juga diminta untuk meningkatkan edukasi publik mengenai aturan lalu lintas yang melibatkan kendaraan prioritas. Diperlukan sinergi antara aparat penegak hukum dan instansi kesehatan agar tidak terjadi miskomunikasi yang bisa membahayakan keselamatan pasien.
Penutup
Ketakutan sopir ambulans terhadap tilang ETLE menunjukkan bahwa sistem elektronik masih perlu penyempurnaan dalam mengenali situasi khusus. Perlu ada pendekatan yang lebih fleksibel namun tetap akurat dalam menegakkan hukum di jalanan. Pada akhirnya, keselamatan nyawa pasien harus tetap menjadi prioritas utama, dan sistem hukum harus mendukung itu sepenuhnya.